Sabtu, 07 April 2012

Sejarah Kain Bali





MASYARAKAT Bali dapat dibagi ke dalam dua golongan, Bali- Hindu dan Bali-Aga. Masyarakat Bali-Hindu merupakan keturunan warga Majapahit yang hijrah ke pulau Bali sekitar abad ketiga belas. Sebelumnya hubungan antara Bali dan Majapahit di Jawa Timur telah terjalin.
Sejak sekitar abad kesepuluh raja Dharma Udayana dari Bali mengambil permaisuri dari Jawa Timur, bernama Mahendradatta (juga bergelar Sri Gunapryadharmapatni) yang merupakan keturunan raja Mpu Sendok. Perkawinannya melahirkan Erlangga yang kemudian dinobatkan menjadi raja di Jawa Timur, menggantikan raja Sri Dharmawangsa yang memerintah tahun 991—1007. Ketika kerajaan Majapahit mengalami kemunduran dan keruntuhan, mereka yang setia membawa sisa-sisa kerajaan Majapahit dan agama Hindu menyingkir ke arah Timur hingga ke Pulau Bali.

Masyarakat Bali-Hindu yang merupakan bagian yang paling besar dari penduduk pulau Bali, pada umumnya mendiami daerah dataran, hingga bagian barat Pulau Lombok. Mereka mengenal sistem pelapisan sosial berdasarkan keturunan dan kelompok-kelompok kerabat yang bersifat patrilinial. Beberapa klan yang mempunyai sejarah keturunan atau babad, pamancangah masing-masing klan yang dapat ditelusuri hingga kerajaan Majapahit. Ada suatu kebanggaan apabila nenek moyang mereka ternyata memiliki hubungan darah dengan raja-raja atau bangsawan dari zaman kerajaan Majapahit.
Berdasarkan proses sejarah itu klan-klan dari Bali dataran tersusun ke dalam pelapisan tinggi dan rendah yang dipengaruhi sistem kasta dari kitab suci agama Hindu Kuno, yaitu kasta Brahmana, Ksatria,Vaisya, dan Sudra. Sistem kemasyarakatan di Bali mempunyai sebutan yang sama yaitu
Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Ketiga pelapisan pertama disebut Triwangsa, sedangkan pelapisan keempat disebut Jaba. Hanya sebagian kecil dari masyarakat Bali termasuk Triwangsa. Meskipun demikian warga dari klan-klan besar yang termasuk Triwangsa tersebar ke seluruh Bali. Sebaliknya sebagian besar masyarakat Bali termasuk wangsa Jaba sehingga mereka menipakan mayoritas penduduk Bali. Setiap lapisan kasta menyandang gelar yang berbeda-beda. Misalnya gelar-gelar untuk kasta Brahmana adalah Ida Bagus untuk laki-laki dan Ida Ayu untuk wanita, gelar untuk kasta Ksatria adalah Cokorda, dan bagi warga klan Waisya adalah Gusti.
Sistem perkawinan Bali sangat dipengaruhi oleh sistem kasta tersebut. Bahkan ada aturan adat yang melarang perkawinan dengan kasta yang berbeda. Sistem pelapisan sosial ini berpengaruh juga dalam adat-istiadat, sikap pergaulan, dan tutur bahasa. Meskipun demikian perbedaan pelapisan ini tidak berpengaruh terhadap sistem berpakaian atau perhiasan.
Masyarakat Rali-Aga kurang sekali mendapat pengaruh Jawa-Hindu dari Majapahit. Oleh karena itu masyarakat Bali-Aga mempunyai budaya yang berbeda dengan Bali Hindu yang ada di dataran. Masyarakat yang tergolong Bali-Aga ini mendiami desa-desa pegunungan sekitar Sembiran, Cempaga, Sidatapa, Pedawa, Tigawangsa, di Kabupaten Buleleng; dan desa Tenganan Pagringsingan di Kabupaten Karangasem.
Wastra Qringsing dan Endek yang bertuah
Tidak ada motif-motif pada pakaian yang dikhususkan untuk golongan bangsawan atau raja di Bali. Hal ini berbeda dengan motif-motif batik di Jawa yang terbagi dalam strata tertentu. Misalnya motif parang, kawung, dan sebagainva yang khusus untuk kalangan raja atau bangsawan keraton di Yogyakarta dan Surakarta. Mereka yang berasal dari kalangan rakyat jelata dilarang mengenakannya. Di Bali kain-kain jenis tenun tertentu seperti songket benang emas dan perak serta kain prada, yaitu kain yang diberi ragam hias goresan cat emas, merupakan seni tenun yang berkembang di kalangan istana dan sekitarnya, misalnya kerajaan Gianyar, Buleleng, Badung, dan Karangasem. Sekitar abad 16-19 raja-raja Bali sangat berpengaruh terhadap pengembangan berbagai jenis kesenian. Pada masa itu seni pertunjukan dan seni kriya/kerajinan termasuk seni tenun, berkembang pesat dan disebarkan dari pusat kerajaan sampai ke desa-desa. Dapat dikatakan perkembangan dan persebaran kesenian Bali mencapai puncaknya pada saat itu. Tak heran jika saat ini jenis tenunan dan pembuatan prada sudah dikenal luas oleh masyarakat hingga tidak ada pembatasan berdasarkan strata tertentu.
Kain-kain, yang disebut wastra dalam adat Bali, berperan sangat penting dalam upacara-upacara adat. Sejak lahir sampai meninggal, mulai pagi hari ketika matahari terbit sampai terbenam, orang Bali menjalani kehidupannya dengan berbagai upacara. Setiap upacara selalu dilengkapi dengan kesenian baik seni pertunjukan, seni musik gamelan, dan seni tari disertai dengan gemerlap pakaian. Upacara-upacara yang dilakukan bersifat kemasyarakatan, artinya melibatkan orang banyak. Dalam upacara adat, setiap individu maupun masyarakat yang terlibat wajib mengenakan kain-kain atau pakaian tertentu. Ada berbagai jenis kain yang dipergunakan, antara lain kain songket, kain tenun ikat, paduan songket dan ikat, ikat ganda atau dobel ikat (kain gringsing), tenun polos, hingga kain bergaris, jenis-jenis kain berfungsi sesuai bentuk dan ukurannya misalnya sebagai selendang, saput, kamben, kampuh, hingga destar/udheng (ikat kepala).
Di Bali, kain tidak hanya dipakai untuk menutup tubuh baik untuk sehari- hari maupun saat upacara. Kain juga digunakan untuk menghias tempat- tempat upacara di pura, rumah, maupun di pusat desa. Bahkan, mereka mempercayai ada kain tertentu yang dapat berfungsi sebagai penolak bala. Jika seseorang sakit dan penyakitnya dianggap berasal dari gangguan roh-roh jahat, maka dapat disembuhkan dengan mengenakan kain tertentu.
Fungsi kain-kain Bali pernah diulas oleh Anak Agung Muter dan Ratmini Soedjatmoko dalam buku Bunga Rampai Wastra Bali. Mereka membagi kain- kain Bali ke dalam tiga kelompok, yaitu wastra Bertuah, wastra Kebesaran, dan wastra Penghias.
Wastra Bertuah adalah kain-kain yang dianggap sakral dan berhubungan erat dengan upacara-upacara keagamaan. Berfungsi sebagai pelindung, penolak bala, penyembuh penyakit, dan lain sebagainya. Yang termasuk kain-kain sakral tersebut antara lain gringsing, cepuk, dan bebali. Jenis-jenis kain bertuah ini dibuat dari benang kapas yang dihias dengan ragam hias serta warna-warna yang mempunyai makna tertentu.
Wastra Qringsing
Wastra gringsing dibuat dari benang kapas dengan ragam hias motif yang dibentuk dari dobel ikat atau tenun ikat ganda, yaitu mengikat benang lungsi dan benang pakan sekaligus. Selain di daerah ini, biasanya kain tenun ikat dibuat dengan mengikat benang lungsi atau benang pakan saja. Jenis tenunan ganda ini sangat langka, hanya terdapat di Jepang, India, dan Indonesia. Pembuatannya memerlukan waktu yang cukup lama, mulai satu sampai lima tahun lamanya, dan dilakukan dengan teknik khusus yang sangat sukar. Hasil jadi tenun ikat ganda ini akan membentuk pola geometris rapi yang serasi dan sangat indah.
Kain/wastra gringsing ini ditenun oleh masyarakat desa Tenganan Pagringsingan di Karangasem. Akan tetapi proses pencelupan warna nila dan cokelat justru dianggap tabu jika dilakukan di desa tersebut. Oleh karena itu proses pencelupan warna nila dilakukan di desa Bug-bug dan warna merah kecokelatan di Nusa Penida. Pencelupan di desa Bug-bug dilakukan dengan daun tarum untuk menghasilkan warna di Nusa Pemda dilakukan pencelupan dengan akar mengkudu/pace untuk menghasilkan warna merah kecokelatan.
Proses pencelupan diawali dengan mengikat bagian-bagian tertentu benang pakan dan lungsi sesuai motif yang diinginkan. Tujuannya agar bagian yang diikat tidak terkena warna saat dicelup. Benang-benang yang telah diikat resebut kemudian dikirim ke desa Bug-bug untuk dicelup dengan warna nila. Dari sini. benang-benang dibuka ikatannya dan diikat di bagian berwarna nila. Benang-benang tersebut kemudian dicelup dengan warna merah kecokelatan di Nusa Penida. Proses pencelupan dengan akar mengkudu ini dilakukan berkali-kali hingga didapat warna merah marun yang gelap dan anggun. Selain itu ada juga hasil celupan berwarna kuning kemiri dan kuning telur pucat sebagai dasar tenunan dengan ragam hias be ruam a cokelat dan merah marun.
Proses penenunan dilakukan setelah benang-benang selesai diwarnai dan siap ditenun. Benang-benang tersebut ditenun dengan alat yang disebut cagcag, yaitu alat tenun tradisional yang menggunakan por-semacam busur yang disangkutkan pada pinggang penenun sebagai penahan rentangan benang lungsi. Alat ini akan menghasilkan kain berbentuk tabung. Setelah dipotong mengikuti alur pakan, kain tersebut akan menjadi persegi panjang berukuran lebar 30-100 cm, panjang 125-200 cm. Bagian pinggirnya dapat dibiarkan tenirai, namun kadangkala ada pula yang dipotong rapi. Nama- nama kain gringsing lainnya adalah kain gringsing cemplong, cempaka, dan sananempeg.
Rangkaian upacara tarian, ritual, potong gigi, dan Ngaben
Motif yang sering digunakan dalam kain gringsing sangat khas, antara lain motif wayang Bah yang diambil dari cerita Mahabaratha. Figur yang sama dapat ditemukan pada relief candi di Jawa Timur. Kain-kain dengan motif wayang ini sering digunakan dalam tarian Abuang dan Rejang—tarian khas Tenganan Pagringsingan-dalam upacara-upacara ritual sakral di desa, baik oleh lelaki maupun perempuan. Beberapa upacara mengharuskan penggunaan kain baru yang belum pernah dipakai, sehingga digunakan wastra gringsing yang belum dipotong dan masih berbentuk tabung.
Di luar desa Tenganan. kain gringsing dipakai sebagai alas kepala dalam upacara pemotongan gigi yaitu upacara metatah atau mepandes. Kain gringsing juga digunakan dalam upacara menek daha (upacara penandaan akil balig) dan pemapah pengantin dalam upacara perkawinan. Oleh dukun atau penyembuh, kain gringsing digunakan untuk mengobati orang yang sakit dengan cara menutupi badan atau bagian-bagian yang sakit dari para penderita penyakit tertentu. Di samping peranan yang penting di dalam upacara, kain gringsing ini juga dipakai untuk menghias pura, tempat suci, dan menara dalam upacara ngaben.
Wastra cepuk
Kain cepuk adalah jenis kain yang diberi ragam hias dari teknik ikat pakan tertentu yang disebut endek. Ragam hias yang khas ini berwarna merah dengan motif-motif berwarna-warni, yang diilhami oleh motif cindai pada kain patola India. Kain cepuk ini dianggap sakral, dan dipakai untuk menutupi peti jenasah dan juga merupakan pakaian yang khusus dipakai oleh penari Rangda dalam dramatari Calon Arang. Pada umumnya kain cepuk dibuat dari tenunan benang sutera pada benang lungsinya (benang yang vertikal). Biasanya wastra cepuk berukuran panjang 1,20 dan 240 cm dan lebar 70 dan 80 cm.
Wastra cepuk ini berasal dari Nusa Penida, namun dalam perkembangannya juga dibuat di beberapa daerah lain di Bali Meskipun demikian, ada kekhususan tenunan yang berasal dari Nusa Penida karena dibuat dari tenun benang kapas yang halus dan anggun.
Wastra endek
Ada satu tehnik ikat yang berkembang khususnya di Bali yaitu pada penyempurnaan ragam hias ikat pada kain di bagian- bagian tertentu yang ditambah dengan coletan yang disebut nyantri. Nyantri adalah penambahan warna dengan goresan kuas dari bambu seperti orang yang melukis. Keindahan ragam hias pola nyantri ini ditekankan pada penyempurnaan warna hiasan berbentuk flora dan fauna serta motif-motif yang diambil dari mitologi Bali dan wayang. Motif-motif inilah yang menjadi ciri khas kain endek.
Kain endek yang bercirikan tenun ikat ini juga banyak diberi kombinasi songket benang emas atau perak diterapkan pada hiasan pinggir kain.
Kain endek mempunyai dua macam bentuk. Yang pertama berbentuk sarung yang digunakan oleh laki-laki. Kain sarung endek ini mempunyai sambungan di bagian tengah atau sampingnya. Kain endek kedua berbentuk kain panjang yang digunakan oleh perempuan. Kain untuk perempuan ini mempunyai motif atau ragam hias ikat yang menghias bagian pinggir kain, sedangkan di bagian tengah k lin berwarna polos. Dalam perkembangannya, banyak variasi lain di mana ragam hias juga dibuat pada bidang tengah kain selain pada jalur hiasan pinggir. Bahkan kain endek tidak selalu dibuat dalani bentuk kain panjang, melainkan dalam bentuk selendang yang disebut anteng
Kain endek sering digunakan sebagai pakaian adat, dan diminati oleh berbagai lapisan masyarakat hingga dari luar Bali. Kain sarung endek ini sekaligus dibuat dalam corak yang sama dengan selendangnya. Dengan bahan kain endek ini dipergunakan juga untuk kemeja laki-laki, gaun, dan bahan dekorasi interior rumah.
Was tra-was tra lain
Pakaian adat Bali yang tergolong dalam kelompok yang mempunyai nilai sosial dan prestise yang tinggi adalah kain yang terbuat dengan ragam hias prada dan tenun songket.
Kain prada adalah kain yang dihiasi dengan lempengan tipis yang terbuat dari serbuk emas pada permukaan kain yang kemudian dihentuk menurut motif-motif ragam hias berbentuk flora dan fauna. Pada umumnya ragam hias yang digoreskan bentuk bunga teratai, tetumbuhan, burung, bentuk swastika, dan lainnya. Untuk menempelkannya dipakai bahan perekat dari serbuk tulang ikan. Pekerjaan ini dikerjakan oleh laki-laki sedangkan penenunan kainnya dilakukan oleh penenun perempuan. Kain prada ini dipakai saat pesta upacara adat atau saat menari.
Kain songket benang emas dan perak dibuat dengan penuh ketelitian pada tenunan yang dijalin dengan benang emas atau perak dengan sarana lidi-lidi halus yang disilangkan pada benang pakan dan lungsi ketika sedang menenun di alat tenun. Kain-kain songket dengan mutu yang tinggi menjadi simbol prestise bagi pemiliknya. Kain bebali mempunyai keunikan dengan ragam hias bergaris atau kotak-kotak warna-warna yang terang dan yang gelap. Secara simbolis, motif-motif ini melambangkan warna hitam-putih, siang dan malam (rahina-wengi), ada kebaikan dan ada kejahatan, ada yang adil dan ada yang tidak adil, dan sebagainya sebagai unsur keseimbangan alam. Salah satu jenis kain bebali yang disebut kain keling mempunyai ragam hias garis dan kotak-kotak dengan warna kuning yang dominan. Kain bebali ini juga dipergunakan untuk penolak bala.
Ada jenis kain bebali yang disebut wastra gedogan yang memiliki sebelas garis warna-warni. Wastra gedogan dianggap mempunyai kekuatan magis tertentu yang paling ampuh di antara kain-kain bertuah lainnya. Wastra bebali lain yang juga dianggap ampuh adalah skordi, kling, gotya, dan poleng. Wastra skordi adalah wastra dengan ragam hias garis atau kotak- kotak dengan warna utama merah. Wastra kling adalah kain dengan ragam hias kotak-kotak berwarna kekuningan. Wastra gotya memiliki ragam hias kotak-kotak beraneka warna. Sedangkan kain poleng merupakan kain dengan ragam hias motif kotak-kotak, dengan warna utama hitam-putih.
Selain wastra yang telah disebutkan di atas, masih ada kelompok kain- kain Bali yang khusus dibuat sebagai dekorasi atau hiasan patung, pura, dan kain untuk dekorasi seni pertunjukan. Seperti kain lamak, ider-ider, dan pelangi.

3 komentar:

  1. Hi Okta, dapat info ini dr mana ya! Kebetulan saya lagi cari info ttg tenun bali :)

    Saya bisa dikontak via blog saya. Thx!

    Yogeswary

    BalasHapus
  2. Trim info kainnya. saya juga posting prihal Kain tenun endek bali http://www.komangputra.com/mengenal-kain-tenun-bali.html

    BalasHapus
  3. boleh tau Kain Prada di bali berasal dari
    kabupaten mana ? mohon berbagi.
    terima kasih

    BalasHapus