Minggu, 08 April 2012

Sejarah Batik Madura

Sejarah batik Madura sudah ada sejak zaman kerajaan. Kain batik Madura mulai dikenal masyarakat luas pada abad ke 16 dan 17.  Hal ini bermula ketika terjadi peperangan di
Pamekasan Madura antara Raden Azhar (Kiai Penghulu Bagandan) melawan Ke’ Lesap. Raden Azhar merupakan ulama penasihat spriritual Adipati Pamekasan yang bernama Raden Ismail (Adipati Arya Adikara IV).  Sedangkan Ke’ Lesap merupakan putera Madura keturunan Cakraningrat I dengan istri selir.


Dalam peperangan itu, Raden Azhar memakai pakaian kebesaran batik dengan motif parang atau dalam bahasa Madura disebut motif leres yakni kain batik dengan motif garis melintang simetris. Ketika memakai kain batik motif parang, Raden Azhar memiliki kharisma, tanpak gagah berwibawa. Sejak itulah, batik menjadi perbincangan di kalangan masyarakat Madura, terutama pembesar-pembesar di Pamekasan.

Di Jogjakarta dan Solo, kain batik motif parang merupakan pakaian kebesaran para raja. Konon, rakyat biasa pantang memakai. Itu dulu, sekarang bolehlah asal tidak dipakai saat bertemu raja. Misalnya, untuk kondangan atau menghadiri rapat. Tokoh penting yang mengenalkan kain batik ke Madura adalah  Adipati Sumenep, Arya Wiraraja yang merupakan sekutu dekat Raden Wijaya, pendiri kerajaan Majapahit.  

Motif batik madura memiliki keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh batik dari daerah lain. Ciri khas batik Madura sebagai usaha rumahan yang mudah dikenali adalah selalu terdapat warna merah dalam motif bunga atau daun. Beberapa kalangan menilai, ada kesamaan motif kain batik Madura dan Jogjakarta. Adanya kesamaan motif kain batik Madura dan Jogjakarta karena ada hubungan darah antara raja Mataram dengan para pembesar di Madura. Kerajaan Bangkalan pada zaman raja Cakraningrat I adalah bawahan Kesultanan Mataram yang dipimpin Sultan Agung.

Perjalanan sejarah batik Madura saat ini boleh dikatakan mencapai kejayaan, apalagi dengan pencanangan Hari Batik Nasional tanggal 2 Oktober oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Para pengrajin batik setelah peresmian jembatan Suramadu di sentra-sentra batik Madura mengalami kegairahan membatik. Seperti sentra batik tulis Tanjung Bumi di Bangkalan, sentra batik tulis Banyumas Klampar, Pamekasan, dan sentra batik tulis Pakandangan Sumenep. Seiring dengan selesainya pembangunan jembatan Suramadu, Pemkab Pamekasan bahkan menetapkan desa Banyumas Klampar kecamatan Proppo sebagai desa batik. Tak hanya itu, sebuah pasar batik terbesar di dunia (dilihat dari jumlah pedagang batik) juga telah dibuka. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar