Pada tahun 1850-an pemuda berumur 21 tahun bernama Levi Strauss tiba
di San Francisco, Amerika, dari Bavaria, Eropa, untuk mencoba
peruntungannya, ia tidak menyadari bahwa dia sedang mulai
membuat sebuah
sejarah yang menjadi sumbangan terbesar Amerika untuk dunia mode sampai
sekarang.
Strauss mencoba menjual tenda-tenda kanvas kepada para penggali
tambang emas. Masa itu, Amerika memang sedang terkena demam emas.
Bukannya tertarik pada tawaran Strauss, para penambang itu malah minta
dibawakan celana panjang. Nama Levi’s pun lahir ketika para penambang
yang ketagihan celana Levi, mencari “those pants of Levi’s” (celana si
Levi) yang terbuat dari denim. Di Amerika, kata Levi’s bersinonim dengan
celana jeans.
Kata jeans yang kini lekat dengan denim berasal dari peng-amerika-an
kata bahasa Perancis Genes yang berarti Genoa, yaitu kota yang
memproduksi celana denim di Italia, yang sebetulnya berasal dari Nimes
di Perancis. Sedangkan istilah blue jeans muncul ketika Levi mencelup
denimnya dengan warna indigo dan memberinya label untuk menunjukkan
keaslian celana jeans buatannya.
Secara generik jeans sering disebut dengan kata DENIM, denim adalah
tenunan benang katun. Semula warna benangnya hanyalah putih dan biru
yang asal-usulnya berasal dari sebuah kota di Perancis: Nimes yang
menjadi asal kata denim yaitu serge de Nimes.
Ada masa dia identik sebagai pakaian untuk pekerja kasar yang bekerja
di luar ruang, karena memang denim yang semula terbuat dari katun ini
memiliki ketahanan luar biasa menghadapi lingkungan yang keras.
Telah lebih seabad setelah Levi memopulerkan celana celana jeans.
Kini celana jeans atau denim tetap digemari bahkan naik kelas karena
menjadi produk perancang terkenal dunia. Bahkan denim menjadi produk
para perancang yang bekerja di Paris, kota yang mengutamakan keanggunan.
Tentu saja denim mengalami masa-masa jatuh-bangun sebelum dia
mendapatkan posisinya seperti saat ini.
Pada tahun 1940-an denim sebenarnya sudah diolah menjadi produk mode
dalam bentuk gaun, rok, jaket, dan celana panjang. Denim kemudian
mencapai puncak popularitasnya pada tahun 1970-an ketika celana jeans
diproduksi massal.
Pada era tahun 1970-an ketika Barat dilanda “endemi” hippie, celana
jeans menjadi salah satu atribut yang melekat pada mereka, menjadi
simbol pemberontakan terhadap kemapanan. Tidak jarang “para pemberontak”
itu sengaja mengoyak-ngoyak celana celana jeans mereka untuk
mempertegas penolakan mereka pada kemapanan.
Mereka yang menganggap diri pengikut mode, pernah tidak tertarik pada
celana jeans. Celana jeans lalu berkembang lebih sebagai baju untuk
para pekerja kerah biru di Amerika. Celana jeans bahkan kemudian identik
dengan pakaian kerja para koboi ketika menggembala sapi mereka dari
atas kuda mereka.
Perputaran roda mode akhirnya sampai pada suatu masa di mana ide
dipungut dari mana saja, dari waktu kapan saja, lalu dirakit menjadi
sebuah bentuk baru untuk orang masa kini. Percampuran atau eklektisisme
ini mewarnai kehidupan masyarakat pascatahun 1970-an, tetapi sangat
terasa pada dunia mode era 1990-an dan terus terjadi sampai kini.
Sebelum perancang memungut denim dari lemari pakaian kelas pekerja
dan menjadikannya gemerlap sebagai produk perancang, para perancang
telah lebih dulu mengambil gaya berbusana kelompok-kelompok tertentu
seperti komunitas punk, komunitas peselancar, komunitas pejuga gaya
gotik, dan sebagainya.
Kebangkitan denim sebagai produk perancang paling mencolok terjadi
ketika pada tahun 1990-an Tom Ford dari rumah mode Gucci mengangkat
celana jeans sebagai fashion statement-nya.
Ford yang ketika itu menjadi perancang yang dikagumi karena
kejeniusan rancangannya berhasil mengangkat pamor Gucci, menawarkan
celana denim berwarna pudar yang koyak di banyak tempat. Tentu bukan
Ford bila tidak membuat celana jeans tersebut gemerlap, sehingga ia
menambahkan hiasan bulu-bulu di bagian depan bawah celananya,
menyulamkan mutiara dan payet sehingga celana jeans tersebut pantas
menyandang nama Gucci.
Madonna ikut mempulerkan kembalinya celana jeans melalui tur dunianya
awal tahun ini yang memakai tema koboi sebagai tema pakaian. Begitu
pula penyanyi kondang seperti Britney Spears dan Shakira, mereka
terlihat beberapa kali menggunakan denim dalam klip video musik mereka.
Bukan hanya Ford yang melihat peluang kembalinya celana jeans seiring
dengan perubahan suasana hati ke arah gaya yang lebih kasual terutama
di kalangan kerah putih yang bekerja di bidang teknologi informasi di
Amerika. Perancang lain pun berlomba-lomba mendesain ulang celana jeans.
Versace, Roberto Cavalli, Calvin Klein, Dolce dan Gabbana, dan
Christian Dior, hanyalah beberapa nama besar di bisnis mode yang mencoba
mengambil manfaat dari kembalinya celana jeans. Bahkan John Galliano
yang bekerja untuk rumah mode Christian Dior masih menggunakan denim
dalam salah satu rancangan adibusana untuk musim gugur dan dingin
2002/2003.
Dalam dunia nyata, di Indonesia denim juga kembali ikut naik daun.
Variasi model sangat beragam, mulai dari warna yang beragam, bergaya
klasik, yang berpayet, hingga yang dibuat warnanya pudar sebagian dengan
kontras yang tajam. Modelnya pun terus berganti-baggy, melebar di ujung
pipa bawah, ketat membalut kaki, sebagai celana panjang, celana tiga
perempat, hingga hotpants. Yang sekarang sedang digemari adalah hipster,
celana denim yang dikenakan di pinggul, dan baru-baru ini model
mengerucut ke bawah yang disebut dengan model pensil. Apa pun variasi
yang dilakukan, namun denim dalam warna biru indigo selalu diasosiasikan
sebagai pakaian dari budaya kasual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar