MASYARAKAT Bali dapat dibagi ke dalam dua golongan, Bali- Hindu dan
Bali-Aga. Masyarakat Bali-Hindu merupakan keturunan warga Majapahit
yang hijrah ke pulau Bali sekitar abad ketiga belas.
Sebelumnya hubungan antara Bali dan Majapahit di Jawa Timur telah
terjalin.
Sejak sekitar abad kesepuluh raja Dharma Udayana dari Bali
mengambil permaisuri dari Jawa Timur, bernama Mahendradatta (juga
bergelar Sri Gunapryadharmapatni) yang merupakan keturunan raja Mpu
Sendok. Perkawinannya melahirkan Erlangga yang kemudian dinobatkan
menjadi raja di Jawa Timur, menggantikan raja Sri Dharmawangsa yang
memerintah tahun 991—1007. Ketika kerajaan Majapahit mengalami
kemunduran dan keruntuhan, mereka yang setia membawa sisa-sisa kerajaan
Majapahit dan agama Hindu menyingkir ke arah Timur hingga ke Pulau
Bali.
Masyarakat Bali-Hindu yang merupakan bagian yang paling besar dari
penduduk pulau Bali, pada umumnya mendiami daerah dataran, hingga bagian
barat Pulau Lombok. Mereka mengenal sistem pelapisan sosial
berdasarkan keturunan dan kelompok-kelompok kerabat yang bersifat
patrilinial. Beberapa klan yang mempunyai sejarah keturunan atau babad,
pamancangah masing-masing klan yang dapat ditelusuri hingga
kerajaan Majapahit. Ada suatu kebanggaan apabila nenek moyang mereka
ternyata memiliki hubungan darah dengan raja-raja atau bangsawan dari
zaman kerajaan Majapahit.
Berdasarkan proses sejarah itu klan-klan dari Bali dataran tersusun
ke dalam pelapisan tinggi dan rendah yang dipengaruhi sistem kasta dari
kitab suci agama Hindu Kuno, yaitu kasta Brahmana, Ksatria,Vaisya, dan
Sudra. Sistem kemasyarakatan di Bali mempunyai sebutan yang sama yaitu
Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Ketiga pelapisan pertama disebut
Triwangsa, sedangkan pelapisan keempat disebut
Jaba.
Hanya sebagian kecil dari masyarakat Bali termasuk Triwangsa. Meskipun
demikian warga dari klan-klan besar yang termasuk Triwangsa tersebar ke
seluruh Bali. Sebaliknya sebagian besar masyarakat Bali termasuk
wangsa Jaba sehingga mereka menipakan mayoritas penduduk Bali. Setiap
lapisan kasta menyandang gelar yang berbeda-beda. Misalnya gelar-gelar
untuk kasta Brahmana adalah Ida Bagus untuk laki-laki dan Ida Ayu untuk
wanita, gelar untuk kasta Ksatria adalah Cokorda, dan bagi warga klan
Waisya adalah Gusti.
Sistem perkawinan Bali sangat dipengaruhi oleh sistem kasta tersebut.
Bahkan ada aturan adat yang melarang perkawinan dengan kasta yang
berbeda. Sistem pelapisan sosial ini berpengaruh juga dalam
adat-istiadat, sikap pergaulan, dan tutur bahasa. Meskipun demikian
perbedaan pelapisan ini tidak berpengaruh terhadap sistem berpakaian
atau perhiasan.
Masyarakat Rali-Aga kurang sekali mendapat pengaruh Jawa-Hindu dari
Majapahit. Oleh karena itu masyarakat Bali-Aga mempunyai budaya yang
berbeda dengan Bali Hindu yang ada di dataran. Masyarakat yang tergolong
Bali-Aga ini mendiami desa-desa pegunungan sekitar Sembiran, Cempaga,
Sidatapa, Pedawa, Tigawangsa, di Kabupaten Buleleng; dan desa Tenganan
Pagringsingan di Kabupaten Karangasem.
Wastra Qringsing dan Endek yang bertuah
Tidak ada motif-motif pada pakaian yang dikhususkan untuk golongan
bangsawan atau raja di Bali. Hal ini berbeda dengan motif-motif batik di
Jawa yang terbagi dalam strata tertentu. Misalnya motif parang,
kawung, dan sebagainva yang khusus untuk kalangan raja atau bangsawan
keraton di Yogyakarta dan Surakarta. Mereka yang berasal dari kalangan
rakyat jelata dilarang mengenakannya. Di Bali kain-kain jenis tenun
tertentu seperti songket benang emas dan perak serta kain prada, yaitu
kain yang diberi ragam hias goresan cat emas, merupakan seni tenun yang
berkembang di kalangan istana dan sekitarnya, misalnya kerajaan
Gianyar, Buleleng, Badung, dan Karangasem. Sekitar abad 16-19 raja-raja
Bali sangat berpengaruh terhadap pengembangan berbagai jenis kesenian.
Pada masa itu seni pertunjukan dan seni kriya/kerajinan termasuk seni
tenun, berkembang pesat dan disebarkan dari pusat kerajaan sampai ke
desa-desa. Dapat dikatakan perkembangan dan persebaran kesenian Bali
mencapai puncaknya pada saat itu. Tak heran jika saat ini jenis tenunan
dan pembuatan prada sudah dikenal luas oleh masyarakat hingga tidak
ada pembatasan berdasarkan strata tertentu.
Kain-kain, yang disebut
wastra dalam adat Bali, berperan
sangat penting dalam upacara-upacara adat. Sejak lahir sampai meninggal,
mulai pagi hari ketika matahari terbit sampai terbenam, orang Bali
menjalani kehidupannya dengan berbagai upacara. Setiap upacara selalu
dilengkapi dengan kesenian baik seni pertunjukan, seni musik gamelan,
dan seni tari disertai dengan gemerlap pakaian. Upacara-upacara yang
dilakukan bersifat kemasyarakatan, artinya melibatkan orang banyak.
Dalam upacara adat, setiap individu maupun masyarakat yang terlibat
wajib mengenakan kain-kain atau pakaian tertentu. Ada berbagai jenis
kain yang dipergunakan, antara lain kain songket, kain tenun ikat,
paduan songket dan ikat, ikat ganda atau dobel ikat (kain gringsing),
tenun polos, hingga kain bergaris, jenis-jenis kain berfungsi sesuai
bentuk dan ukurannya misalnya sebagai selendang, saput, kamben, kampuh,
hingga destar/udheng (ikat kepala).
Di Bali, kain tidak hanya dipakai untuk menutup tubuh baik untuk
sehari- hari maupun saat upacara. Kain juga digunakan untuk menghias
tempat- tempat upacara di pura, rumah, maupun di pusat desa. Bahkan,
mereka mempercayai ada kain tertentu yang dapat berfungsi sebagai
penolak bala. Jika seseorang sakit dan penyakitnya dianggap berasal dari
gangguan roh-roh jahat, maka dapat disembuhkan dengan mengenakan kain
tertentu.
Fungsi kain-kain Bali pernah diulas oleh Anak Agung Muter dan Ratmini Soedjatmoko dalam buku Bunga Rampai
Wastra Bali. Mereka membagi kain- kain Bali ke dalam tiga kelompok, yaitu wastra Bertuah, wastra Kebesaran, dan wastra Penghias.
Wastra Bertuah adalah kain-kain yang dianggap sakral dan
berhubungan erat dengan upacara-upacara keagamaan. Berfungsi sebagai
pelindung, penolak bala, penyembuh penyakit, dan lain sebagainya. Yang
termasuk kain-kain sakral tersebut antara lain
gringsing, cepuk, dan
bebali.
Jenis-jenis kain bertuah ini dibuat dari benang kapas yang dihias
dengan ragam hias serta warna-warna yang mempunyai makna tertentu.
Wastra Qringsing
Wastra gringsing dibuat dari benang kapas dengan ragam hias
motif yang dibentuk dari dobel ikat atau tenun ikat ganda, yaitu
mengikat benang lungsi dan benang pakan sekaligus. Selain di daerah ini,
biasanya kain tenun ikat dibuat dengan mengikat benang lungsi atau
benang pakan saja. Jenis tenunan ganda ini sangat langka, hanya terdapat
di Jepang, India, dan Indonesia. Pembuatannya memerlukan waktu yang
cukup lama, mulai satu sampai lima tahun lamanya, dan dilakukan dengan
teknik khusus yang sangat sukar. Hasil jadi tenun ikat ganda ini akan
membentuk pola geometris rapi yang serasi dan sangat indah.
Kain/wastra
gringsing ini ditenun oleh masyarakat desa
Tenganan Pagringsingan di Karangasem. Akan tetapi proses pencelupan
warna nila dan cokelat justru dianggap tabu jika dilakukan di desa
tersebut. Oleh karena itu proses pencelupan warna nila dilakukan di desa
Bug-bug dan warna merah kecokelatan di Nusa Penida. Pencelupan di desa
Bug-bug dilakukan dengan daun tarum untuk menghasilkan warna di Nusa
Pemda dilakukan pencelupan dengan akar mengkudu/pace untuk menghasilkan
warna merah kecokelatan.
Proses pencelupan diawali dengan mengikat bagian-bagian tertentu
benang pakan dan lungsi sesuai motif yang diinginkan. Tujuannya agar
bagian yang diikat tidak terkena warna saat dicelup. Benang-benang yang
telah diikat resebut kemudian dikirim ke desa Bug-bug untuk dicelup
dengan warna nila. Dari sini. benang-benang dibuka ikatannya dan diikat
di bagian berwarna nila. Benang-benang tersebut kemudian dicelup dengan
warna merah kecokelatan di Nusa Penida. Proses pencelupan dengan akar
mengkudu ini dilakukan berkali-kali hingga didapat warna merah marun
yang gelap dan anggun. Selain itu ada juga hasil celupan berwarna kuning
kemiri dan kuning telur pucat sebagai dasar tenunan dengan ragam hias
be ruam a cokelat dan merah marun.
Proses penenunan dilakukan setelah benang-benang selesai diwarnai dan
siap ditenun. Benang-benang tersebut ditenun dengan alat yang disebut
cagcag,
yaitu alat tenun tradisional yang menggunakan por-semacam busur yang
disangkutkan pada pinggang penenun sebagai penahan rentangan benang
lungsi. Alat ini akan menghasilkan kain berbentuk tabung. Setelah
dipotong mengikuti alur pakan, kain tersebut akan menjadi persegi
panjang berukuran lebar 30-100 cm, panjang 125-200 cm. Bagian pinggirnya
dapat dibiarkan tenirai, namun kadangkala ada pula yang dipotong rapi.
Nama- nama kain gringsing lainnya adalah kain
gringsing cemplong, cempaka, dan
sananempeg.
Rangkaian upacara tarian, ritual, potong gigi, dan Ngaben
Motif yang sering digunakan dalam kain
gringsing sangat
khas, antara lain motif wayang Bah yang diambil dari cerita Mahabaratha.
Figur yang sama dapat ditemukan pada relief candi di Jawa Timur.
Kain-kain dengan motif wayang ini sering digunakan dalam tarian Abuang
dan Rejang—tarian khas Tenganan Pagringsingan-dalam upacara-upacara
ritual sakral di desa, baik oleh lelaki maupun perempuan. Beberapa
upacara mengharuskan penggunaan kain baru yang belum pernah dipakai,
sehingga digunakan wastra gringsing yang belum dipotong dan masih
berbentuk tabung.
Di luar desa Tenganan. kain
gringsing dipakai sebagai alas kepala dalam upacara pemotongan gigi yaitu upacara
metatah atau
mepandes. Kain
gringsing juga digunakan dalam upacara
menek daha (upacara penandaan akil balig) dan pemapah pengantin dalam upacara perkawinan. Oleh dukun atau penyembuh, kain
gringsing
digunakan untuk mengobati orang yang sakit dengan cara menutupi badan
atau bagian-bagian yang sakit dari para penderita penyakit tertentu. Di
samping peranan yang penting di dalam upacara, kain
gringsing ini juga dipakai untuk menghias pura, tempat suci, dan menara dalam upacara
ngaben.
Wastra cepuk
Kain
cepuk adalah jenis kain yang diberi ragam hias dari teknik ikat pakan tertentu yang disebut
endek.
Ragam hias yang khas ini berwarna merah dengan motif-motif
berwarna-warni, yang diilhami oleh motif cindai pada kain patola India.
Kain
cepuk ini dianggap sakral, dan dipakai untuk menutupi
peti jenasah dan juga merupakan pakaian yang khusus dipakai oleh penari
Rangda dalam dramatari Calon Arang. Pada umumnya kain
cepuk dibuat dari tenunan benang sutera pada benang lungsinya (benang yang vertikal). Biasanya wastra
cepuk berukuran panjang 1,20 dan 240 cm dan lebar 70 dan 80 cm.
Wastra
cepuk ini berasal dari Nusa Penida, namun dalam
perkembangannya juga dibuat di beberapa daerah lain di Bali Meskipun
demikian, ada kekhususan tenunan yang berasal dari Nusa Penida karena
dibuat dari tenun benang kapas yang halus dan anggun.
Wastra endek
Ada satu tehnik ikat yang berkembang khususnya di Bali yaitu pada
penyempurnaan ragam hias ikat pada kain di bagian- bagian tertentu yang
ditambah dengan
coletan yang disebut
nyantri. Nyantri
adalah penambahan warna dengan goresan kuas dari bambu seperti orang
yang melukis. Keindahan ragam hias pola nyantri ini ditekankan pada
penyempurnaan warna hiasan berbentuk flora dan fauna serta motif-motif
yang diambil dari mitologi Bali dan wayang. Motif-motif inilah yang
menjadi ciri khas kain
endek.
Kain endek yang bercirikan tenun ikat ini juga banyak diberi
kombinasi songket benang emas atau perak diterapkan pada hiasan pinggir
kain.
Kain
endek mempunyai dua macam bentuk. Yang pertama berbentuk sarung yang digunakan oleh laki-laki. Kain sarung
endek ini mempunyai sambungan di bagian tengah atau sampingnya. Kain
endek
kedua berbentuk kain panjang yang digunakan oleh perempuan. Kain untuk
perempuan ini mempunyai motif atau ragam hias ikat yang menghias bagian
pinggir kain, sedangkan di bagian tengah k lin berwarna polos. Dalam
perkembangannya, banyak variasi lain di mana ragam hias juga dibuat pada
bidang tengah kain selain pada jalur hiasan pinggir. Bahkan kain
endek tidak selalu dibuat dalani bentuk kain panjang, melainkan dalam bentuk selendang yang disebut anteng
Kain
endek sering digunakan sebagai pakaian adat, dan diminati oleh berbagai lapisan masyarakat hingga dari luar Bali. Kain sarung
endek ini sekaligus dibuat dalam corak yang sama dengan selendangnya. Dengan bahan kain
endek ini dipergunakan juga untuk kemeja laki-laki, gaun, dan bahan dekorasi interior rumah.
Was
tra-was tra lain
Pakaian adat Bali yang tergolong dalam kelompok yang mempunyai nilai
sosial dan prestise yang tinggi adalah kain yang terbuat dengan ragam
hias
prada dan tenun
songket.
Kain prada adalah kain yang dihiasi dengan lempengan tipis
yang terbuat dari serbuk emas pada permukaan kain yang kemudian dihentuk
menurut motif-motif ragam hias berbentuk flora dan fauna. Pada umumnya
ragam hias yang digoreskan bentuk bunga teratai, tetumbuhan, burung,
bentuk swastika, dan lainnya. Untuk menempelkannya dipakai bahan perekat
dari serbuk tulang ikan. Pekerjaan ini dikerjakan oleh laki-laki
sedangkan penenunan kainnya dilakukan oleh penenun perempuan. Kain prada
ini dipakai saat pesta upacara adat atau saat menari.
Kain songket benang emas dan perak dibuat dengan penuh ketelitian
pada tenunan yang dijalin dengan benang emas atau perak dengan sarana
lidi-lidi halus yang disilangkan pada benang pakan dan lungsi ketika
sedang menenun di alat tenun. Kain-kain songket dengan mutu yang tinggi
menjadi simbol prestise bagi pemiliknya. Kain
bebali mempunyai
keunikan dengan ragam hias bergaris atau kotak-kotak warna-warna yang
terang dan yang gelap. Secara simbolis, motif-motif ini melambangkan
warna hitam-putih, siang dan malam
(rahina-wengi), ada
kebaikan dan ada kejahatan, ada yang adil dan ada yang tidak adil, dan
sebagainya sebagai unsur keseimbangan alam. Salah satu jenis kain
bebali yang disebut
kain keling mempunyai ragam hias garis dan
kotak-kotak dengan warna kuning yang dominan. Kain bebali ini juga
dipergunakan untuk penolak bala.
Ada jenis kain bebali yang disebut
wastra gedogan yang memiliki sebelas garis warna-warni.
Wastra gedogan
dianggap mempunyai kekuatan magis tertentu yang paling ampuh di antara
kain-kain bertuah lainnya. Wastra bebali lain yang juga dianggap ampuh
adalah
skordi, kling, gotya, dan
poleng. Wastra
skordi adalah wastra dengan ragam hias garis atau kotak- kotak dengan warna utama merah. Wastra
kling adalah kain dengan ragam hias kotak-kotak berwarna kekuningan. Wastra
gotya memiliki ragam hias kotak-kotak beraneka warna. Sedangkan kain
poleng merupakan kain dengan ragam hias motif kotak-kotak, dengan warna utama hitam-putih.
Selain wastra yang telah disebutkan di atas, masih ada kelompok kain-
kain Bali yang khusus dibuat sebagai dekorasi atau hiasan patung,
pura, dan kain untuk dekorasi seni pertunjukan. Seperti kain
lamak, ider-ider, dan
pelangi.
Hi Okta, dapat info ini dr mana ya! Kebetulan saya lagi cari info ttg tenun bali :)
BalasHapusSaya bisa dikontak via blog saya. Thx!
Yogeswary
Trim info kainnya. saya juga posting prihal Kain tenun endek bali http://www.komangputra.com/mengenal-kain-tenun-bali.html
BalasHapusboleh tau Kain Prada di bali berasal dari
BalasHapuskabupaten mana ? mohon berbagi.
terima kasih